Monday, April 1, 2013

Story


Shoot me, please!

Gue bosen! Gue bosen kalau harus njalanin hubungan yang menyakitkan ini. Gimana engga coba, masa dia ada buat gue cuma pada saat butuh doang. Gue punya hati, men! Hati gue lembut dan terlalu ringkih buat nerima segala perlakuan 'freak' dia. Berjuta-juta nasehat dan keluh kesah udah gue keluarkan semua sama dia. Tapi dia cuma bilang maaf, lalu dia ngulangin hal yang sama terus menerus. Sakit coy, rasanya dikayak gituin ama pacar sendiri. Jadi keputusan gue udah kotak, nggak bulat lagi. Gue hari ini harus nyelesain duduk perkara ini ke meja hijau percintaan, untuk mem-vonis pacar gue, Donita, dengan sanksi 'putus'.

Ok. Saat ini yang harus gue lakuin adalah nemuin dia buat ngomongin masalah sakral ini.

*

Saat ini gue sama pacar gue udah duduk bersebelahan kayak dalam angkot. Gue bingung, mber! Bijimane caranya mengawali sebuah kata yang sepertinya sangat sulit terucap dikala saat-saat genting seperti ini. Bantu gue ya, mber, caranya dengan ngomong 'Bimsalabim jadi apa prok prok prok' (aish :p ). Dengan sedikit gemetar gue mulai membuka suara maskulin gue.

"Nita...." ucap Gue setengah kelimpungan.

"Iya, mas Roni, sayang!" jawab Donita setengah nge-rapp.

Setelah kata pembuka itu, mulut gue terasa kaku. Kayaknya seluruh darah di badan gue, berkumpul semua di bibir gue. Gue seperti terkena stroke mendadak. Gua nggak tau bunyi alfabet ataupun sekedar untuk bersendawa. Gue bisu mendadak, mber. Tolongin gue mber, apa yang harus gue ucapin lagi? (Member said: itu urusan lo min, ngapain juga kita para pembaca yang ribet. ><)

Ditengah kebisuan mendadak gue, suara lembut layaknya kapas kasur itu membuyarkan kegelisahan yang gue dera.

"Ada apa, Sayang? Kok dari tadi diem aja kayak uang koin gopekan?" ucap Donita nyelekit.

Sialan, mber, masa gue disamain sama uang gopekan. Nasip..nasip kalo punya tampang kayak penyakit masuk angin. Mereka pada demen pengen ngerik punggung yang kena masuk angin pake uang gopekan. Sungguh terlaaluuu.

"I..iya, sayang!" akhirnya penyakit bisu gue mulai berkompromi. "Sebelumnya terimakasih udah warnain hidup gue selama ini. Kau memang seperti cat yang tergores di atas kanvas cintaku yang murni untukmu!" ucap gue puitis.

"Iya, sayang. Sama-sama. Bagiku kau juga seperti sepatu dan kaos kaki yang saling melengkapi." ucapnya tak kalah puitis.

"Kau ingat dulu, saat pertama kali kita bertemu di tempat pelelangan ikan?" gue flashback.

Donita mengangguk sambil jari telunjuk di depan wajahnya tepat. "Iya, gue inget. Pada saat itu gue lihat mas Roni lagi ngejemur ikan di pinggir laut. Tanpa disengaja, kayak di sinetron-sinetron yang tiap malem gue tonton, sapu tangan yang baru saja gue pake buat ngelap ingus itu terbang terbawa angin. Dan sapu tangan itu mendarat tepat di wajah abang." ucapnya sumringah.

Aish! Kenapa harus kejadian naas itu yang dia omongin coba? Gue kan malu!

"Iya, itu. Itulah awal kita ketemu. Romantis, yah!" ucap gue bo'ong. Padahal faktanya yah, mber. Pas kejadian itu gue pengen pink sun (ngejungkel,red). Ampun dah, mber. Bau sapu tangan bekas ingusnya itu, lho. Baunya melebihi ikan yang gue jemur. Apalagi sapu tangan itu dihiasi sentuhan tangan kreatif yang membentuk sebuah seni dengan hasil akhir sebuah cairan berlendir warna ijo. Ieuwww! Jorok banget, mber. Sebel! Sebel! Eike jadi sebel!.

"Kalau inget kejadian itu, gue seneeng banget!" kata Donita kepedean.

'Seneng pala lo peyang?' batin gue empet. "Hehe. Iya yah, indah!" ucap gue akhirnya dengan luka yang tergores rapi di hati.

"Lha, terus sebenernya abang nyuruh gue ke sini buat apa?" kata Donita membuat mulutku bisu mendadak (lagi).

Dengan tampang polos layaknya kain yang belum ada motifnya, gue pun mencobamenjawab dengan tenang.

"Engg...sebenernya gue ngajak elo kesini, karena gue pengen kita..." ucap gue menggantung dengan indah. "Gue pengen kita putus," ucap Gue akhirnya.

"Putus? Kenapa bang, kenapa abang pengen putus?"

"Gue ngerasa kalo kita sama sekali tidak ada kemistri lagi. Kita sudah nggak cocok! Lagian kalau kita terus lanjutin hubungan ini, pasti akan lebih menyakitkan. Khususon buat gue."

"Enggak! Gue nggak mau kita putus."

"Sudahlah, Donita! Gue nggak bisa njalanin ini semua. Gue nggak sanggup."

"Tapi bang.. gue minta maaf kalo gue punya salah. Gue nggak pengen putus."

"Maaf. Tapi gue udah dijodohin sama bonyok gue. Dan gue menyetujuinya." ucap gue bener-bener bo'ong.

Plak. Tamparan beringas mendarat telak dipipi gue. "Jadi elo cuma mau nyakitin hati gue bang? Elo tega sama gue! Elo jahat! Gue benci sama elo!" ucapnya lalu berlari meninggalkan gue dengan air mata yang keluar dari pelupuk matanya.

'Mungkin, dengan cara membohongi elo seperti ini, gue bisa lepas dari elo. Biarin orang bilang gue egois. Tapi ini pilihan gue. Selamat tinggal mantan pacarku!' batinku perih.

-selesai-

No comments:

Post a Comment