Monday, April 1, 2013

Story


LABIRIN

Brisnamberg adalah salah satu negara di belahan benua Krosberthan. Botolomian adalah salah satu kotanya. Di kota yang amat tenang dan penduduknya yang ramah, menjadikan Botolomian menjadi kota yang sangat tepat untuk dihuni. Namun berbeda untuk hari ini, kota Botolomian yang biasanya tenang mendadak menjadi sangat ramai. Nampak kerumunan orang sedang berkumpul di sebuah rumah yang lumayan megah. Terlihat pula garis polisi yang mengitari rumah tersebut. Nampak mobil ambulan yang terparkir di area rumah yang nampak tua itu.

"Amankan mayatnya lalu bersihkan area!" perintah salah satu polisi kepada rekannya.

"Baik, Sir!"

"Sersan… apa yang terjadi pada anak saya, sersan?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja datang.

"Putra anda, Calvin, meninggal sekitar 5 jam yang lalu!" jawab sersan Tyson.
"Apakah anda baru melihat putra anda meninggal pagi ini?" tanyanya kemudian.

"Ya. Aku mendapat kabar dari suamiku tadi pagi, bahwa Calvin meninggal dunia tadi malam. Aku memang bekerja mengurus restoranku di Botolomian." jelas wanita sebaya itu, yang diketahui bernama Tania.

Lalu datang petugas medis dari kepolisian.
"Sersan Tyson. Setelah petugas medis melakukan penyelidikan terhadap korban, ditemukan data bahwa korban diduga tewas sekitar pukul 02:00 pagi. Mulut korban mengeluarkan busa dan ada pula tumpahan kopi serta gelasnya yang pecah. Namun anehnya korban tewas dalam posisi tergantung di atap rumah dengan seutas tali. Sidik jari kami temukan di cangkir kopi yang korban minum. Saya akan menyelidiki siapa pemilik sidik jari tersebut." jelas salah satu petugas medis.

"Baik. Lanjutkan penyelidikan dan berikan data selengkapnya kepada saya!" kata sersan Tyson yang diikuti anggukan dari petugas medis tersebut lalu berlalu.
"Brian!" panggil sersan Tyson pada rekannya yang lain.
"Beritahu detektif Sword untuk datang kesini! Cepat!" perintahnya.

"Baik!" ucap rekannya.

Satu jam kemudian, detektif Sword sampai di TKP.

"Sersan! Aku sudah dijelaskan oleh rekan anda bahwa telah terjadi pembunuhan di sini!" kata detektif Sword.

"Kita belum bisa memastikan peristiwa ini pembunuhan atau bunuh diri. Itulah sebabnya saya butuh bantuan anda untuk menyelesaikan kasus ini," kata sersan Tyson.

"Baik. Saya akan membantu. Mungkin kita harus mengintrogasi tiap orang yang dekat dengan korban." ucap detektif Sword seraya mengambil buku di sakunya.

"Anda benar." jawab sersan Tyson lalu mereka berdua memulai tugas mereka untuk mengintrogasi.

*

Setelah melakukan introgasi yang cukup melelahkah, didapatkan beberapa keterangan dari tiap orang yang dekat dengan korban.

Rain (Adik korban): "Aku memang dekat dengan kakakku, Calvin, tapi mana mungkin aku tega membunuh dia. Kakaku adalah saudara satu-satunya. Dan aku menyayanginya walaupun kadang kita sering terlibat percekcokan masalah perempuan."

Tasya (Pacar korban): "Terakhir kali aku bertemu Calvin sekitar 2 hari yang lalu. Pada saat itu kita terlibat adu mulut karena hubungan kita tak direstui. Setelah kejadian itu, aku tak pernah bertemu lagi."

Benny (Pembantu): "Akulah yang memberikan kopi itu. Tuan Calvin meminta kopi susu, katanya ingin begadang menonton bola. Tapi sumpah, aku tak mencampur kopi itu dengan racun. Aku sudah mengabdi pada keluarga ini selama 2 tahun, jadi mana mungkin aku berkhianat."

Ronny (Pemilik rumah terdahulu): "Aku memang menjual rumah ini kepada keluarga ibu Tania. Karena istri saya sudah tidak betah di rumah ini. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Calvin."

Tania (Ibu korban): "Semalam saya mengurus restauran keluarga yang ada di Botolomia. Calvin anak yang supel. Dia memang agak bandel, tapi dia sangat baik. Pagi harinya, saya mendapat kabar dari suami saya, Hitler, kalau Calvin meninggal. Jadi mana mungkin aku pelakunya."

Hitler (Ayah korban/ suami ibu Tania): "Tadi malam saya masih sempat mengobrol dengan Calvin. Keluarga saya menyetujui hubungan Calvin dengan Tasya. Tapi, keluarga Tasya lah yang tidak menyetujui hubungan mereka. Padahal keluarga saya merupakan salah satu yang terkaya di kota Colonia ini."

*

"Kasus ini akan segera terungkap setelah pihak medis mengumumkan pemilik sidik jari di cangkir kopi milik korban," ucap detektif Sword.

"Mungkin memang hanya itu satu-satunya yang dapat kita harapkan. Sidik jari itu kunci kasus ini." sersan Tyson mengernyitkan dahinya.

*

Satu minggu sudah kasus ini telah bergulir di meja hijau, tapi belum ada hasil.

"Sersan Tyson." panggil salah satu petugas medis. "Hasil sidik jarinya sudah keluar, sersan!" lanjutnya.

"Mana hasil lab-nya? Coba saya lihat!" sersan Tyson menjulurkan tangannya.

"Ini, sersan!" petugas medis memberikan catatan hasil lab.

Sersan Tyson mengambil berkas itu, lalu membacanya. Menit kemudian dia menganggukkan kepalanya. "Ok. Data ini akan saya simpan dan akan saya beritahukan pada detektif Sword!" sersan Tyson memandang sekeliling. "Kau boleh kembali ke tempatmu!" suruhnya kepada petugas medis tersebut.

"Baik!" respon petugas medis singkat.

*

"Bagaimana sersan, dengan hasil sidik jari yang ada di cangkir kopi korban?" tanya detektif Sword menutkan kedua alis tebalnya.

"Ini data hasil lab-nya!" ujar sersan Tyson seraya memberikan berkas.

Detektif Sword menelaah tiap data yang ada dalam berkas tersebut. Sejurus kemudian dia menganggukkan kepala. "Jadi... Benny, si pembantu itulah pemilik sidik jarinya?"

"Kalau dilihat dari data laboratorium, memang dialah pemilik sidik jari itu." jelas sersan Tyson.

Detektif Sword berpikir sejenak, "jadi dia... pembunuhnya?" tanya detektif Sword.

"Tidak lain lagi... memang Benny, si pembantu itu lah, pelakunya. Hasil lab ini adalah fakta, dan kasus ini akan ditutup oleh pihak pengadilan besok pagi." sersan Tyson menarik napas panjang.

*

Pihak pengadilan sudah menetapkan kalau Benny, pembantu rumah itulah pelaku pembunuhan Calvin. Kini dia menghuni jeruji besi dengan hukuman 15 tahun penjara. Pihak keluarga Calvinpun lega, akhirnya pelaku bisa ditangkap.

"Detektif Sword... demi tuhan, bukan aku pelakunya. Kau percaya, kan, dengan ucapanku?" teriak Benny meyakinkan detektif Sword. Matanya mengeluarkan air mata yang langsung menetes ke lantai tahanan.

"Bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti itu? Kau tahu, kan, hasil laboratorium itu menunjukkan kalau kaulah pemilik sidik jari itu. Dan otomatis kau juga pelakunya." ucap detektif Sword masih agak ragu. Karena dia sudah lama berkecimpung di dunia penyelidikan kasus-kasus kejahatan. Sehingga dia tahu benar, mana orang yang berbohong dan mana yang tidak. Dari kasus ini dia dapat merasakan ada sesuatu yang janggal. Terlebih pengakuan dari Benny, yang sepertinya dia memang jujur dengan ucapannya barusan.

"Percayalah! Aku bukan pelakunya. Kalau kau memang seorang detektif, harusnya kau tidak menelan mentah-mentah hasil dari persidangan. Trust me! I'm not killer! Selidikilah lebih lanjut kasus ini! Dan aku akan sangat berterima kasih." Benny masih berusaha meyakinkan.

Detektif Sword tak menggubris Benny. Dia lebih memilih untuk meninggalkannya. Namun di benaknya masih mengganjal perkataan Benny. "Mungkin benar kata dia, kalau kasus ini ada yang janggal! Mungkin aku harus menyelidi lebih lanjut." batin Sword.

*

Semenjak kasus pembunuhan itu, rumah tempat dimana pembunuhan tersebut terjadi dikosongkan oleh pemiliknya. Mereka lebih memilih mencari tempat tinggal lain. Mungkin mereka trauma atau mungkin takut kejadian itu akan terulang kembali. Kondisi ini dimanfaatkan detektif Sword untuk memulai penyelidikan. Dia berusaha mencari bukti-bukti di dalam rumah tersebut. Tiap bagian dan sudut rumah, dia telusuri. Namun, belum menemukan sesuatu yang janggal di rumah tersebut. Bagaimana mungkin detektif Sword bisa mempercayai Benny, kalau dia bukan pelakunya? Tapi insting memang tak dapat diragukan.

Kini dia beralih ke kamar Calvin. Tempat dimana Calvin ditemukan tak bernyawa.

"Sial... di sinipun aku tak menemukan hasil!" rutuknya sambil melihat kertas catatannya yang masih kosong, tanpa tergores satu datapun.

Srrrrrhhhh! Angin yang cukup kencang berhembus menerpanya. Seketika itu pula, kertas yang ia pegang terbang ke arah kolong lemari besi.
"Sial... kertasku!" ucapnya lalu dia berjalan menuju ke lemari besi itu untuk mengambil kertasnya.

Detektif Sword menjulurkan tangannya. Meraba-raba kolong lemari tersebut untuk mengambil kertas.
"Kemana... kertasku." batinnya sembari masih meraba-raba kolong lemari. Hingga tangannya merain sebuah gundukan kecil di kolong tersebut, "apa ini?" ucapnya saat tangannya menyentuh suatu tonjolan di bawah lemari yang sepertinya sebuah tombol. Sontak tangannya menekan tombol tersebut.

Krieeeetttttt!
Dinding yang berada tepat di samping lemari besi terbuka. Sword terkejut melihatnya. Lalu tanpa berpikir panjang, dia langsung beranjak menuju dinding yang terbuka tersebut.
"Tangga?" katanya kemudian. Dari balik dinding terdapat sebuah tangga yang sepertinya bermuara ke suatu tempat. Mungkin ruang bawah tanah. Nampak kalau tangga tersebut cukup tua. Hal tersebut terlihat dari warna tangga yang kusam, bahkan beberapa anak tangga nampak ditumbuhi tanaman gulma. Dengan langkah sedikit ragu dan detak jantung yang berderap kencang, Sword menuruni tiap anak tangga yang entah akan membawanya kemana.

Tap tap tap! Dia terus menuruni tangga. Berbekal cahaya yang ada di ponselnya, dia berusaha menelusuri tangga tersebut yang sepertinya akan membuahkan titik terang dari kasus ini. Entah sudah berapa anak tangga yang sudah ia pijak, rasanya amat lama. Bahkan terasa amat panjang perjalanan yang ia lakukan. "Cahaya?" ucapnya sedikit bernafas lega setelah dia mendapati seberkas cahaya yang sepertinya merupakan sebuah ruangan. Detektif Sword terus melangkah hingga mencapai sebuah ruangan yang lumayan luas. Anehnya di dalam ruangan tersebut, terdapat cabang yang sepertinya akan mengarah ke ruangan lainnya. Semacam LABIRIN.
"Bagaimana aku bisa mengungkap kasus ini?" katanya melemah. Sword terus berpikir apa yang harus dilakukan sambil mondar-mandir tak karuan. Lalu ia duduk di sebuah batu tepat di bawah lukisan yang terdapat di ruangan itu. Zrrttttt! Gambar lukisan tersebut berubah. Sword beranjak dari batu tersebut lalu mengamati lukisan itu. "Apa ini? Lebih mirip sebuah peta dibanding sebuah lukisan!" ucapnya sedikit meniup-niup lukisan untuk menghilangkan debu di beberapa sisinya.
"Ya... ini memang sebuah peta! Sepertinya ini peta dari LABIRIN ini!" lanjutnya.

Sword terus mengamati. Di lukisan tersebut, ada semacam garis merah yang mengacu ke suatu tempat. 'Mungkin, aku harus menuju tempat yang ditandai garis merah. Aku yakin di sana ada bukti yang aku butuhkan!' batinnya. Lalu Sword memutuskan untuk menelusuri tanda merah itu.

*

"Jejak kaki!" ucapnya. Sword mengikuti jajak itu. Jalan atau lebih tepat disebut lorong itu telihat seperti jalan utama. Itu terlihat dari banyaknya jejak langkah kaki yang sama menepak di lantai lorong. Hingga dia sampai di sebuah tempat yang berisi bermacam benda. Diamatinya ruangan itu. Tiap sudut nampak barang yang sepertinya memang digunakan untuk tempat singgah sementara. "Potasium Sianida, arloji, monitor dan foto serta beberapa sidik jari!" mata Sword berkilat. Ini bukti yang sangat menguatkan.

Diambilnya benda-benda itu.
"Ternyata pembunuh Calvin bukan Benny. Aku tahu pemilik barang-barang ini. Dialah pelaku sebenarnya. Arloji dan foto ini adalah milik..."

Bughh! Sebuah benda tumpul menghantam Sword tepat di punggungnya. Sword langsung tersungkur seketika. Tubuhnya menghantam dan memporak porandakan seluruh barang yang ada di ruangan tersebut. Pelipisnya berdarah akibat hantaman tubuhnya yang terkena lukisan. "Cihh..." Sword meludah disertai cairan merah yang tercampur bersama air liurnya.
"Rupanya kau ada di sini? Dasar pembunuh..." ucap Sword dengan senyum sinisnya.

"Ini daerahku... dan kau sudah masuk area kekuasaanku."

Sword bangkit dengan tertatih. "Harusnya aku tahu dari awal bahwa kaulah pembunuh Calvin sebenarnya. Aku akui kalau trikmu memang sangat baik sampai-sampai Benny, si pembantu itulah, yang akhirnya menjadi tersangka karena sidik jari di cangkir korban. Tapi ternyata di balik ini semua kaulah pelaku sebenarnya." ucap Sword meringis menahan sakit.

"Tapi kau telat mengungkap kasus ini. Toh Benny-lah yang jadi tersangkanya. Bukan aku. Dan dari awal sudah ku duga kalau kau akan datang ke tempat rahasiaku ini. Di labirin ini."

"Owh... Ckck! Tidak ada kata terlambat. Kau boleh saja lolos dari jerat hukum. Tapi aku akan merubah ini semua dan akan mengantarkanmu ke penjara." Sword mengambil sebuah tongkat baseball yang berada di sampingnya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Sword mengayukan tongkat baseball itu tak tentu arah karena tenaganya memang sudah hampir habis. Namun hasilnya nihil.

Brakk! Orang itu mendorong tubuh Sword hingga terpental jauh dan menubruk lemari samoai seluruh barang yang ada di dalamnya berhamburan. Dzigh! Dzigh! Tanpa jeda sedikitpun, orang tersebut langsung menghadiahkan bogeman ke wajah Sword. Kini posisi orang itu berada tepat di atas tubuh Sword, sehingga dia leluasa memukul Sword sesuka hati.

"Inilah akibatnya kalau kau berani masuk ke kandang macan. Harusnya kau tak usah sok-sokan menyelidiki kasus ini. Kau cukup tidur di rumah dan meminum susu yang ibumu buatkan. Hahaha!" ucap orang itu menyindir.

Sword hanya terdiam. Tubuhnya kini benar-benar tak berdaya.

"Sudahlah. Pesiapkan wasiatmu dan ucapkan selamat tinggal! Haha."

"Dasar kau keparat! Kau memang pembunuh berdarah dingin! Cih!" ucap Sword meludah ke wajah orang tersebut.

"Disaat-saat seperti ini ternyata kau masih punya nyali juga untuk meludahiku," kata orang tersebut sembari menarik rambut Sword dan menghemparkannya ke lantai.

Darah mengucur deras dari kepalanya. Rintihan kesakitan Sword beresonansi sampai memenuhi lorong-lorong labirin.

"Sakit, yah? Cup cup cup..."

Mata Sword beredar mencari benda yang memungkinkan untuk melakukan perlawanan. Sword tersenyum puas. Sebuah senyum kemenangan. Sementara orang tersebut hanya melotot sembari menggelengkan kepala seolah iba melihat kondisi Sword. Dengan seluruh sisa kekuatan yang entah dari mana asalnya, Sword mendorong orang itu hingga terjungkal ke belakang. Tak mau menunggu lama, Sword langsung meraih sebuah senapan yang menggantung di dinding. Dzing... dzing... dzing! Tiga lesatan timah panas sukses mengenai bagian lengan dan kaki orang itu. Dia langsung tersungkur. "Arghhh! Kurang ajar kau!" ucapnya menahan sakit.

Sword menurunkan senapan. "Sudah aku bilang... kalau aku pasti akan menghantarkanmu ke penjara. Time is over Ronny."

Ronny masih merintih kesakitan. Darah terus mengucur dari lengan dan kakinya. "Arggghhh!" hanya ucapan itu yang memekakan telinga. Ronny berteriak menahan rasa sakit.

*

Kini Ronny, si pemilik rumah Calvin terdahulu, harus mempertanggungjawabkan kejahatannya di balik sel penjara untuk waktu yang sangat lama.

"Kesaksianmu saat di persidangan kemarin sangat membuat kami kaget. Bagaimana kau mengetahui kalau Ronny pelakunya dari investigasimu di labirin yang kau temui tempo hari?" tanya sersan Tyson disertai rasa penasaran.

Detektif Sword menyalakan rokok lalu menghirupnya. "Potasium Sianida, arloji, foto dan monitor itu adalah kuncinya. Begini kronologi pembunuhan itu. Ronny yang merupakan pemilik rumah terdahulu pasti tau seluk beluk dari kondisi dalam rumah itu. Labirin atau ruang bawah tanah itu sengaja dia rancang jauh sebelum keluarga dari Calvin mendiami rumah tersebut. Lalu dengan trik teror di rumah lama Calvin, membuat keluarga Calvin tidak betah di rumah lamanya. Sehingga keluarga Calvin mencari rumah baru dan dapatlah rumah dari Ronny. Melalui monitor yang aku temukan di ruang bawah tanah, dia sengaja memasang kamera pengintai di rumah itu. Sehingga dia tahu benar aktivitas dan kebiasaan orang dalam rumah tersebut." jelas Sword.

"Lalu... bagaimana cara Ronny membunuh Calvin?" tanya sersan Tyson.

"Itu mudah saja bagi Ronny yang memiliki profil sebagai pekerja mekanik dan arsitek. Mula-mula dia mengintai lewat kamera tersembunyi. Lalu Benny, pembantu rumah keluarga Calvin memberikan pesanan Calvin berupa secangkir kopi. Oleh sebab itulah sidik jadi Benny ada di cangkir itu. Pada saat keadaan kamar Calvin sepi. Dalam hal ini, pada saat itu Calvin pergi ke kamar mandi. Dan Ronny tahuhal itu lewat kamera pengintainya, Ronny memanfaatkan keadaan tersebut. Lalu dia membuka pintu rahasia yang ada di samping lemari besi di kamar Calvin. Lagi-lagi pintu tersebut buah dari ide jenius Ronny yang tahu benar masalah mekanik dan arsitektur. Ronny masuk ke kamar Calvin lewat pintu rahasia tersebut dan memasukkan Potasium Sianida ke kopi milik Calvin, lalu Ronny bersembunyi di bawah kolong tempat tidur Calvin. Saat Calvin kembali dari kamar mandi, dia meneguk kopinya yang alhasil dia keracunan. Tanpa buang waktu, dengan memakai sarung tangan, Ronny menggantung mayat Calvin dengan seutas tali yang sudah dia siapkan secara matang. Kira-kira seperti itu kronologinya. Dan arloji yang aku temukan di ruang bawah tanah adalah arloji yang sama pada saat aku mengintrogasi Ronny tempo hari saat kematian Calvin baru mencuat." jelas detektif Sword panjang lebar.

"Lalu apa motif pembunuhan itu?"

"Untuk motifnya sendiri karena Ronny ingin balas dendam atas kematian putri semata wayangnya. Hal itu dapat disimpulkan dari foto yang aku temukan di labirin. Dalam foto itu terdapat gambar Ronny dan gadis kecil, yang tak lain anaknya. Satu lagi, di balik foto itu tertulis sebuah pesan, 'Ayah akan membalaskan dendam atas kematianmu, nak. Keluarga Calvin harus mati. Andai ayah tak mengalami kebangkrutan. Dan andai saja keluarga Calvin mau meminjamkan uang dan mobilnya untuk membawamu ke rumah sakit, mungkin saat ini kau masih hidup, Jesica, anakku tersayang'. Begitu bunyi pesannya. Jadi sudah jelas motifnya balas dendam."

"Sangat brilian, Sword!" kagum sersan Tyson.

Sword menghempaskan rokoknya ke tanah lalu mematikan dengan menginjak rokok tersebut. Kemudian dia berlalu dengan seulas senyum kharismanya.

-selesai-

No comments:

Post a Comment