Monday, April 1, 2013

Story


Betelgeus

“…. Namanya Aldebran, Bintang merah yang paling terang dalam rasi Taurus.” Jemari kecil itu menunjuk satu titik putih di langit malam yang gemerlap. Matanya membundar, berbinar penuh rasa kagum. ‘Bintang yang aku cari setiap malam’, Gumamnya.
***

Pemuda itu berdiri tegap menghadap kontruksi bangunan yang menjulang tinggi di hadapannya. Usianya baru menginjak dua puluh lima, dengan perawakan yang terlihat berwibawa, berbalut jas dan celana kulot berbahan licin. Rambutnya tertata rapi, beberapa helai tersibak angin lembut. Wajah sang ‘Insinyur muda’ tersenyum simpul menatap proyek besarnya kali ini, dan tiba-tiba…

“ Pak, di depan….” Seseorang menghadap untuk memberinya kabar. Seketika pemuda itu berlari, rautnya yang memerah memudarkan senyum bangganya. Langkahnya semakin cepat, ia menerobos kerumunan tepat di seberang jalan proyek kontruksinya.

“Rezan…” Nafasnya tersenggal menatap pemuda seusianya terkapar bersimbah darah. Ia kemudian merengkuh untuk memeluk Rezan. Sejenak, ia terpaku kemudian bulir kecil menggelinding di pipinya. “Panggil ambulance!” Perintahnya segera.
Satu pertiga jam, tepat sebelum kejadian ini. Rezan tersenyum bangga menatap kontruksi bangunan di hadapannya. Ah, tapi bukan itu tujuannya datang kemari. Maka untuk alasan yang ia simpan di hatinya itu, ia melangkahkan kaki.

Satu.. Dua.. ia baru saja akan menyeberang. Dan, “Tiiid… Bruukk!” Tubuhnya terhantam keras. Ia lupa satu hal, ini jalanan raya di kota besar, bukan di kampungnya yang masih jarang sekali kendaraan melintas dan siapapun dapat menyeberangi jalan dengan leluasa. Sama seperti Si ‘Insinyur muda’, senyuman yang nyaris sama manisnya, kemudian memudar, berganti erangan rasa sakit dengan simbahan darah di sekujur tubuhnya.

Dua hari yang lalu, pagi yang tak pernah di sangkanya. Seorang kurir menghantar kiriman paket disertai sepucuk surat dari Si ‘Insinyur muda’. Dalam suratnya ia berkata “…Aku mencarimu selama sembilan tahun di Jakarta. Karena kabar terakhir yang aku tahu kau berkelana ke Ibu kota. Dan betapa waktu itu terasa sia-sia karena sampai saat ini aku tak menemukanmu. Tapi kau tahu seberapa bahagia, saat aku mendengar kabar kau pulang ke kampung halaman? Sekarang, bergegaslah! Datanglah kemari untuk menyaksikan ‘Aldebran milikku tengah bersinar’.”

Sang ‘Insinyur muda’ tertunduk lemas. Matanya lekat menatap
Rezan, senyumnya, parasnya, tak jauh berbeda dengan yang ia tinggalkan Sembilan tahun lalu. Dan masih sama seperti Sembilan tahun yang lalu, Rezan terluka. Maka kembali, bulir itu menggelinding merangkai parit kecil di sudut matanya.

“Rezan…” diucapnya lembut nama itu. “Bangunlah, aku rindu…” Tuturnya sendu. Tapi Rezan tak bergeming. Tak ada sepatah pun sahutan dari mulutnya. Bulir itu menderas seketika, kali ini di iringi isak. Dan beberapa kenangan berkelibat di benaknya.

“…. Namanya Aldebran, Bintang merah yang paling terang dalam rasi Taurus.” Jemari kecil itu menunjuk satu titik putih di langit malam yang gemerlap. Matanya membundar, berbinar penuh rasa kagum. ‘Bintang yang aku cari setiap malam’, Gumamnya.

“Kalau begitu, aku hanya ingin Betelgeus.” Ucap Rezan polos. Keduanya masih menelaah satu-persatu bintang yang nampak di langit malam ini. Dari atas balkon loteng rumah yang terbuat dari kayu yang mulai lapuk. Keduanya menengadah.

“Kenapa Betelgeus?” tanya Nazer. Kali ini ia berpaling dari bintang-bintangnya, lalu menatap Rezan penuh rasa ingin tahu.

“Karena ia bintang yang paling dekat dengan matahari. Maka saat aku ada di atas sana, kau tetap dapat melihatku dari bumi.” Jawab Rezan. Kemudian keduanya tersenyum.

Dan itulah moment paling indah yang di ingat Nazer, sebelum akhirnya mereka berpisah karena kedua orang tuanya bercerai. Kemiskinan mengharuskan keduanya terpisah amat jauh, sebagai sepasang putera terakhir dari lima bersaudara. Rezan-Nazer, si kembar penghuni loteng rumah kayu lapuk.

Nazer, ikut bersama Ibunya ke Padang, sementara Rezan tinggal di kampung bersama Ayahnya. Nazer harus menyaksikan luka Rezan yang harus mengemban hidup dalam kemiskinan bersama Ayahnnya. Dan tak lama, Ayanya meninggal karena TBC. Hal itu yang membuat Rezan akhirnya berkelana ke Ibu kota.

Nazer yang mendengar hal itu dari kerabat di kampung akhirnya memutuskan untuk mencari Rezan di Jakarta. Tapi selama Sembilan tahun ia berkelana, Tak juga ia temukan Rezan. Sampai ia mendapat kabar bahwa Rezan kembali ke kampung halamannya.
Hari ini, hari yang ditunggu Nazer untuk bertemu Rezan, untuk kembali sama-sama menatap langit bertabur bintang. Bukan di loteng rumah kayu lapuk itu lagi, tapi di lantai tertinggi di kontruksi proyek bangunan milik Nazer.

Ditatapnya wajah Rezan, wajah yang ia rindukan . Kenyataan yang mengharukan saat justru ia harus menatap saudara kembarnya akhirnya meninggal karena kecelakaan tunggal tadi siang. Kini, untuk terakhir kalinya, ia temukan senyuman kecil yang mengembang di sudut bibir Rezan. Meski dalam dingin, yang diiringi tangis sendu.

Dari lantai paling tingi pada kontruksi bangunan, Nazer terpaku. Malam ini cukup cerah. Gemintang menumpah ruah di angkasa. Lalu mata Nazer menyipit, mengedar pandangannya untuk mencari satu bintang. Kali ini bukan Aldebran, tapi Betelgeus. Demi menemukan Rezan, di sinar paling cerah miliknya malam ini.
“Aku melihatmu Zan!” Gumam Nazer.


-Selesai-

No comments:

Post a Comment