Monday, April 1, 2013

Story


MIMPI BESARKU

Aku baru saja selesai menyusun bunga-bunga anyelir terakhir di rak, ketika samar-samar kudengar suara mendesis dari belakangku. Tepatnya, dari balik rumpun bambu, di sudut ruangan. Aku menoleh. Ternyata tidak ada siapapun atau apapun di sana, membuatku manyun. Namun begitu aku memalingkan wajah, kembali aku mendengar suara mendesis itu lagi.

"Psstt! Psstt!"

Aku menoleh dengan perasaan meradang. "Siapa disitu?" tanyaku dengan suara lantang. Mataku langsung menyelidik ke arah rumpun bambu, yang harganya lumayan mahal tersebut. Lalu, pelan-pelan aku melangkah mendekati rumpun bambu tersebut dan...

"Hei!" sebuah sapaan yang tiba-tiba seiring munculnya sesosok pria bertubuh tinggi dan bertopi hitam, membuatku hampir terjengkang kaget.

"Si..siapa kau?" tanyaku terkejut.

Sosok di hadapanku membuka topinya sebentar, memperlihatkan wajahnya, dan kembali memakainya dengan terburu-buru.

"Ariel?" sontak mataku nyalang menatapnya. Aku hampir tidak percaya dengan penglihatanku sendiri.

"Sstt! Jangan keras-keras!" bisik sosok tersebut, yang tak lain dan dan tak bukan adalah Ariel Peterpan. Tokoh idolaku, semenjak aku mengantarkan buket bunga pertama kepadanya.

Aku segera menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu kembali menatap pria tampan yang berdiri menjulang di hadapanku. "Tunggu! Aku akan mengunci toko!" kataku cepat.

Dengan langkah terburu-buru dan dada berdebar aneh, aku segera mengunci toko bunga tempatku bekerja. Kebetulan sekali aku memang sedang bersiap-siap untuk pulang. Dan kedatangan Ariel Peterpan, yang grup band-nya sekarang telah bertukar menjadi Noah, benar-benar membuatku terkejut. Sedikitpun aku tidak pernah menduga pria setampan dan setenar Ariel bisa nyasar ke toko ini.

"Keluarlah. Sudah aman. Tidak akan ada yang melihatmu karena gorden toko sudah kututup." ucapku kemudian.

Tak lama, Ariel, yang malam itu mengenakan stelan celana Jeans dan jaket kulit berwarna hitam, tampak sangat tampan, keluar dari perembunyiannya. Setelah merasa benar-benar aman, diapun membuka topinya dan tersenyum menyeringai ke arahku. Tuhan! Dia tampan sekali! Penjara ternyata tidak mengambil kekerenannya.

"Aku haus!" katanya seraya duduk di kursi yang biasa kududuki jika sedang tidak ada pelanggan datang ke toko.

"Sebentar..." kataku seraya melangkah ke lemari pendingin. Sekaleng minuman ringan segera kukeluarkan dan menyodorkan ke penyanyi terkenal tersebut. "Kamu kenapa bisa berada disini, Riel? Terpisah dari grup band-mu, atau apa?" tanyaku penasaran.

Ariel tidak langsung menjawab. Dia memilih lebih dahulu meminum coke-nya dengan satu nafas, dan setelah habis, diapun menghapus sisa-sisa minuman yang tumpah disekitar mulutnya, dengan punggung tangan. Lalu kembali menyeringai, memamerkan serangkaian giginya yang tampak putih dan tersusun rapi.

"Bukan terpisah, tapi memisahkan diri!" katanya membetulkan kalimatku.

Aku terkekeh, "Trus kenapa bisa nyasar kesini? Kau masih mengenalku?" tanyaku menjebak.

"Aduh, Linda! Aku tidak mungkin melupakanmu. Kau pengantar bunga paling manis yang pernah kukenal!" ucap Ariel seraya memperlihatkan wajah inocent-nya yang imut dan menggemaskan. Semua gadis pasti akan jatuh nyungsep saat melihat wajah itu. Termasuk aku. Makanya aku langsung memegang meja.

"Tapi tidak semanis Luna, kan?" tanyaku memancing konflik.

"Huuff! Jangan mengungkit-ungkit masa lalu, Lin. Gak asyik, ah!"

Aku tertawa. "Jadi sungguhan ya kau masih mengingatku?"

Ariel ikut tertawa, "Gimana aku bisa melupakanmU? Saat itu, kau mengira aku Copet dan memukulku dengan bunga-bungamu, ingat?"

Aku tersenyum malu. Tentu saja aku ingat sekali peristiwa mengenaskan dan sangat memalukan yang terjadi sekitar enam bulan yang lalu itu. Saat aku mendapat pesanan buket bunga yang harus kuberikan ke salah satu personil grup Noah. Namun di saat aku mencari-cari, tiba-tiba aku merasakan seseorang menarik tasku dan tanpa ba-bi-bu, aku langsung memukul orang tersebut dengan bunga-bunga yang kubawa. Dan setelah semua bunga hancur berantakan, akupun melihat ternyata Ariel lah yang telah iseng mencopet tasku. Saat itu, bukan main malunya aku karena ternyata seluruh personil band Noah juga melihat kelakuan konyolku.

"Kau belum melupakannya ya?" tanyaku dengan muka memerah.

"Aku tidak mau melupakannya. Itu adalah kenangan yang paling manis yang pernah aku rasakan." gumam Ariel tersenyum, membuat hatiku seperti taman yang penuh dengan bunga-bunga indah.

"Trus, apa ada yang tahu kau datang kemari. Riel?"

"Kurasa tidak." jawab Ariel mengangkat bahu."Jujur, aku lelah, Lin. aku sebenarnya ingin istirahat."

"Bukannya kau tampak bersemangat kembali menyanyi?" tanyaku heran.

"Iya. Di panggung. Tapi apa ada yang tahu bangaimana dengan hatiku? Aku capek. Sebenarnya aku ingin berhenti menyanyi."

"Aduh! Kalau kau berhenti menyanyi, lalu siapa yang akan kuidolain?" tanyaku tak terima.

"Memangnya kau mengidolainku, Lin?"

"Ya iyalah."

"Sejak kapan?"

Aku tersenyum malu, "hm...sejak aku menimpukmu dengan bunga-bungaku."

Ariel tertawa. "Idola kan gak mesti harus seorang penyanyi, Lin. Kalau aku lebih memilih menjadi penjual bunga, sama sepertimu, tentu kau masih tetap mengidolakanku, kan?"

Aku mengangguk. "Salama ini, aku bahkan telah memiliki rencana jika suatu hari kelak aku bertemu denganmu, Riel." kataku tersenyum manis.

"Ohya? Apa?" tanya Ariel cepat.

"Kau penasaran ya?"

"Iya. Apa? Jangan buat aku penasaran dong."

Aku tertawa, "Berdiri dan mendekatlah kemari, Riel. aku akan memberitahumu." kataku cepat.

Tanpa membuang waktu, Ariel langsung bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekatiku. Sikapnya sungguh manis, semanis senyumnya. Lalu aku dapat merasakan wajah tampan itu mendekati wajahku, dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja aku merasakan sebuah ciuman yang hangat dan ...

Jleb!

"Linda..." Ariel melepaskan ciumannya. Matanya menatapku dengan ribuan tanda tanya. Lalu pandangannya beralih ke bawah, ke lambungnya yang berdarah karena sebuah pisau telah menancap di sana. "A...apa..."

Aku mendesah dan mengangkat bahu. "Entahlah, Riel. Kau selalu tampak manis dan menawan di mataku. Sudah lama aku memimpikanmu...." aku diam sejenak, "...dalam keadaan seperti ini. Wajah pucat menahan sakit... tanpa senyum... tanpa seringai menggoda...dan yang terbayang olehmu hanyalah kematian."

Ariel memegang pisau yang berdarah di perutnya. Matanya tampak marah dan kecewa. Wajahnya tampak menahan rasa sakit yang amat sangat. Lalu dengan perlahan, diapun terjatuh ke lantai, dengan mata terpentang lebar.

"I love you, Riel. Always!" ucapku tersenyum tipis. Siapa sangka, akhirnya mimpi besarku tercapai juga.

TAMAT

No comments:

Post a Comment