Saturday, March 16, 2013

Story

Pelangi di Langit Senja

Hujan telah berhenti turun. Bulir-bulir air menjelma menjadi rintik-rintik kecil. Sepasang angsa bercengkrama menyambut pelangi di langit senja. Aku tercengang, perpaduan warna yang begitu indah melukiskan sederet warna pelangi di langit senja sore ini. Perlahan-lahan aku turun melewati jalanan setapak menuju sebuah Danau Biru yang telah menantikanku di sana. Jalan itu licin dan penuh bebatuan.
"Awas!" teriak seorang gadis memperingatkanku. Aku tak sempat berpegangan pada ranting pohon yang ada di sekitarku sehingga aku jatuh terguling-guling.
"Kamu enggak apa-apa?" gadis itu mengamatiku. Bola matanya yang berwarna biru memancarkan keindahan. Aku terpana. Seulas senyuman mengembang di wajahnya. Pakaiannya berkilauan akibat sinar yang dipantulkan Batu Rubby yang melekat di bagian perutnya.
"Iya. Aku enggak apa-apa," jawabku sambil membersihkan seragam abu-abu yang terkena tanah. "Kamu siapa?" tanyaku penasaran.
“Aku Arale. Putri penguasa Danau Biru ini." Arale mengulurkan tangan di hadapanku. Kusambut uluran tangannya yang terasa begitu dingin membekukan.
"Aku Erland," jawabku singkat. “Kau putri penguasa danau?” tanyaku heran.
“Iya. Kau tidak pernah mendengarnya, ya?” gadis itu menatapku lekat. Menunggu jawaban yang keluar dari mulutku.
“Ehhmm… dulu orangtuaku pernah cerita, tetapi aku tak percaya dengan dongeng itu.”
“Sekarang aku ada si sini. Apakah kau masih tak percaya?”
“Entahlah. Aku tak yakin.”
“Kau harus yakin. Karena aku benar-benar ada.”
“Baiklah. Aku akan mencoba mempercayaimu.” Arale tersenyum lagi padaku. Gadis itu benar-benar cantik. “Sedang apa kau di sini?”
“Aku sedang jalan-jalan. Sudah lama aku tidak pergi ke dunia manusia."
“Ooh.. ya!” ucapku takjub. “Apa yang membuatmu ingin jalan-jalan hari ini.”
“Karena ini!” ia menunjuk ke arah pelangi yang menghiasi langit yang berwarna jingga. Sungguh lukisan maha agung yang begitu indah.
“Kau suka melihatnya?” tanyaku lalu menengadahkan pandangan ke arah pandangan matanya.
“Iya aku sangat suka. Melihat dari luar sini jauh lebih indah dari pada di balik danau. Tetapi, selain itu hanya pelangi senja lah yang mampu mengantarkanku ke dunia ini.”
“Kalau tak ada pelangi senja kau tidak bisa ke sini?”
Ia mengangguk sedih.
“Aku harus segera pulang. Pelangi senja sebentar lagi akan menghilang.” Arale memandangku lalu mengambil sebuah batu berwarna biru di balik pakaiannya. “Ini untukmu.” Arale menyerahkan batu itu padaku. “Bye,”
Ia berlari cepat. Bercebur ke dalam Danau Biru dan menghilang di telan riak air yang tenang. Aku menatap kepergiannya dengan takjub. Perasaan tak percaya mendera hatiku, namun kali ini aku tak bermimpi. Semua ini benar-benar nyata.
*****
Mataku enggan terpejam. Sedari tadi aku merasa gelisah. Bayangan wajahnya menari riang di benakku menguak memori yang tak seharusnya kuingat.
"Aarrgh!!! Kenapa seh susah sekali untuk tidur," kusibakkan selimut hitam putih dari tubuhku. Aku berdiri. Berjalan ke arah jendela yang tertutup rapat. Decitan kecil terdengar kala kubuka jendela kayu yang telah tua. Hembusan angin malam membelai lembut menyapuh setiap permukaan kulit yang kubiarkan terbuka. Aku menengadah. Bintang berkelap kelip di atas langit bagaikan ikan di dasar lautan, begitu kecil dan indah.
"Kenapa aku tak mampu mengenyahkan wajahmu dari ingatanku," Aku menghembuskan napas yang terasa berat.
Sejak kemaren bayangan Arale tak mau pergi dari benakku. Aku merasa frustasi, apalagi aku tak tau kapan akan bertemu dengannya lagi.
“Entah kenapa aku jadi rindu padamu. Aku rindu pada senyuman manismu dan bola matamu yang berwarna biru.” Aku mendesah. Kupandangi batu biru pemberian Arale lalu kututup kembali jendela dan beranjak menuju kasur. Tidur dan terlelap di alam mimpi.
*****
Seperti biasanya seusai pulang sekolah selama seminggu ini aku selalu menyempatkan diri pergi ke Danau Biru berharap bertemu dengannya. Tetapi harapan tinggal harapan. Tak ada sedikit pun tanda-tanda kehadirannya. Aku selalu pulang dengan tangan kosong
“Ternyata hari ini pun kau tak juga datang.” Aku berdiri lalu beranjak pergi dari danau. Tanpa kuketahui sepasang mata tengah mengawasiku dari dasar danau. Matanya yang berwarna biru nampak merah menahan bulir air mata yang akan jatuh.
"Maafkan aku tak dapat menemuimu. Aku tak dapat berbuat apa-apa hanya mampu menatapmu dari sini." Arale terisak. Di sudut matanya setetes cairan bening merembes membasahi pipinya. Ia tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi setelah mendapat peringatan keras dari sang ayah untuk tidak menemuiku.
"Hidup kita berbeda dengan mereka. Jangan sampai kau jatuh cinta pada anak manusia itu," ucap ayahnya kala itu. Ia hanya mampu menunggu pelangi muncul di langit senja agar dapat bertemu denganku.
*****
Hujan telah berhenti. Secepat kilat aku berlari menuju Danau Biru. Genangan air menyiprat ke bagian ujung celanaku hingga meninggalkan bekas noda. Di sudut Danau Biru seorang gadis tengah menunggu kedatanganku. Ia tersenyum. Wajahnya nampak merona merah. Rambutnya yang berwarna biru kehitaman menari-nari diterpa angin.
Degup jantungku berpacu lebih cepat. Napasku tercekat. Aku tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Aku berlari kecil menghampirinya. Perasaan senang, bahagia dan rindu menjadi satu membentuk seulas senyuman di wajahku.
"Apa kabar? Apakah kau habis lari,”
Aku mengangguk. Mengumpulkan seluruh kekuatan untuk berbicara dengannya.
"Iya, aku berlari. Dan seperti yang kau lihat aku baik-baik saja," sedikit terengah aku tetap terus berbicara. "Kabarmu sendiri bagaimana? Kenapa kau baru muncul sekarang. Aku setiap hari pergi ke danau ini untuk bertemu denganmu."
Hening. Tak ada satu-pun kata yang keluar dari bibirnya. Ia menggigit ujung bibir bawahnya. Ia terlihat begitu gelisah. Tangannya sedari tadi meremas-remas ujung baju. "Maafkan aku," akhirnya kalimat itu meluncur dari mulutnya setelah jeda beberapa menit.
"Tak apa. Itu bukan salahmu. Entah mengapa aku ingin selalu melihatmu."
“Bukan begitu maksudku. Aku juga ingin bertemu denganmu, tetapi keadaan tak mengijinkan," ia menghela napas dan melanjutkan kata-katanya. "Kau tak usah lagi menungguku. Aku tak akan pernah muncul lagi. Dunia kita berdua sangat berbeda. Buanglah rasa rindu itu."
Aku terkejut mendengar ucapanya. Hatiku terasa perih. Memang betul begitu keadaannya dan entah mengapa aku tak bisa menerimanya begitu saja.
"Baiklah aku tak akan menunggumu lagi. Dan aku juga tak akan kembali ke sini!” ucapku akhirnya. Aku berbalik pergi meninggalkannya tanpa menoleh ke belakang sedikit-pun. Air mataku menetes. Perasaan yang baru tumbuh harus mati secepat ini. Pelangi di langit senja akan selalu mengingatkanku padamu. Kehadiranmu hanya sekejap mata, namun membekas jelas di palung hati terdalam. Selamat tinggal Arale, namamu kan selalu ada di hatiku...[]

No comments:

Post a Comment